Mengenai Saya

Foto saya
Febrina Dwi Puspitasari yang biasa disapa febri/vhe...putri ke 2 dari 2 bersaudara...asli dr Solo yang sekarang sedang belajar banyak hal tentang kehidupan di Yogyakarta....

Senin, 06 Agustus 2012

My 05:02

Baru tadi siang nama ini tercetus. Spontan.

Empat bulan sudah aku bersama kalian dalam sebuah perjalanan yang menggunakan sebuah kapal kecil. Tidak pernah kusangka, kapal sekecil ini bisa membuat kita mengalami begitu banyak hal yang luar biasa. Dulu, di awal, aku tak mengenal kalian. Tau nama kalian memang iya, tapi hanya sekedar itu saja, bahkan ada beberapa yang membuatku takut, karena cerita yang kudengar tentang kalian.

Entah bagaimana awalnya, di awal bulan kelima akhirnya kita berkumpul. Sarapan bersama di sebuah tempat, dengan masing – masing membawa “upeti”. Ternyata pagi itu menjadi sarapan yang istimewa, sarapan yang membawa kita ke moment yang luar biasa. Ya, pagi itu kita menyepakati untuk melakukan perjalanan bersama dua pekan kemudian. Tak butuh waktu lama untuk menyepakati pembagian peran. Aku, seperti biasa, mendapat peran sebagai ibu logistik.

Sehari sebelum perjalanan kita, ternyata aktivitasku luar biasa padat, pulang ke kos ketika matahari sudah tenggelam. Aku pun memaksakan diri untuk berbelanja sekenanya, apapun yang bisa ku dapat akan aku beli, mau memasak apa juga baru kupikirkan saat itu juga. Aku memutuskan untuk meracik bahan – bahan masakan ketika penghuni kosku mulai bersiap menarik selimut mereka. Dengan sedikit terkantuk – kantuk, kucoba menelateni memotong dari satu sayur ke sayur yang lain, dengan harapan, agar ketika bangun esok pagi, tak lagi terlalu banyak yang harus aku lakukan, hanya tinggal memasak.

Lelahku ketika mempersiapkan bekal ternyata terbayar lunas dengan perjalanan kita hari itu. Terhitung kurang lebih 12 jam kita lewatkan bersama pada hari itu. Mengunjungi 2 tempat utama, dan 1 tempat transit untuk ishoma di tempat yang jauh dari “peradaban” sungguh membuat kita belajar banyak hal. Belajar memilih lagu yang tepat ketika perjalanan, belajar bersyukur bisa menikmati keindahan alam, belajar mengetahui proses yang harus dilalui oleh sebuah makanan (agar tak menyia – nyiakan), dan yang terpenting, hari itu kita belajar untuk mengenal teman seperjalanan.

Dua bulan setelahnya, kita sibuk dengan agenda kita masing – masing, hingga tak lagi sering berkomunikasi. Hingga pada suatu hari di awal ramadhan, ada salah satu dari kalian menyapa, dan menawarkan untuk berkumpul dalam rangka membagi kebahagiaan. Sore itu, di moment ketiga kita, banyak hal yang kita saling bagikan, dari mulai studi, pekerjaan, milad, sampai hal – hal kecil lainnya. Indahnya langit sore, semakin menambah spesialnya moment ke-3 kita itu.

Beberapa hari belakangan ini ketika secara emosi aku sangat labil, kalian begitu setia mendukungku. Membantuku mengembalikan kondisi normalku. Tingkah kalian, kata – kata kalian, tak bisa kupungkiri, itulah yang akhirnya bisa mengembalikan senyumku lagi.

Puncaknya hari ini, ketika lagi – lagi kalian mempercayakan persiapan kejutan manis untuk saudara kita padaku. Tak kusia – siakan, dengan sungguh – sungguh kusiapkan semuanya, kupikirkan ide – ide baru hingga tak jarang dahi ku sampai berkerut – kerut memikirkannya. Walaupun hari ini tak ada forum khusus seperti 2 penyerahan kejutan manis yang sebelumnya, tapi sungguh, hari ini kalian membuat pelupuk mata ku menghangat, karena terharu.

Kalian yang dulu bukan siapa – siapa bagiku, sekarang seperti keluargaku. Keluarga yang akan senantiasa saling mendukung dan menguatkan, agar kapal kecil kita ini bisa sampai ke tujuannya dengan selamat. Kita memang tak menaiki kapal besar, yang tentunya memiliki awak kapal dengan jumlah yang lebih banyak. Terkadang aku masih merasa iri melihat kapal besar itu berlayar, apalagi ketika ada awak kapalnya yang melambaikan tangan ke arah kapal kecil kita. Walaupun begitu, karena kalian, hari ini aku begitu yakin bahwa kita bisa membawa kapal kecil ini berlayar hingga ke tempat yang dituju.

Ramadhanku tahun ini memang begitu berkesan karena kalian. Dan aku bangga memiliki kalian sebagai keluarga baruku. Semoga bisa tetap saling menguatkan dan mengingatkan dalam keimanan.

pemandangan ketika makan siang ^,^

“Meski yang menghubungkanku dengan seseorang hanya selembar benang, maka itu akan kujaga…Jika dia ulurkan, akan ku kencangkan…Jika dia kencangkan, akan ku kendurkan, sehingga benangitu tidak akan pernah terputus… (Muawiyah Ibnu Sufyan)”

Ana uhibbukum fillah…”MY 05:02”
Blimbingsari CT IV/69
6 Agustus 2012
23:57
(ditemani ~~> Kita-SO7)

Kamis, 02 Agustus 2012

dari Trisik ke Glagah...^^

“Ama, kamu ikut agenda yang di Trisik besok itu gak?” tanyaku pada suatu pagi.
“iya, kamu juga?” jawab temanku, Ama.
“he’eh…kamu mau berangkat kapan?” tanyaku lagi.
“aku diminta dari hari jum’atnya, soalnya katanya panitianya kurang, kasian…bareng yuk..” ujar Ama sambil mengedip – ngedipkan matanya.
“hah? Kurang? Bukannya panitiannya banyak ya? Aku sih sebenernya cuma diminta bantu jadi pemandu FGD sabtu siangnya,gak papa deh berangkat jum’at…tapi aku baru bisa berangkat sekitar jam 5..gimana?” tanyaku sambil memasang muka memelas.
“gak papa deh..aku juga mau ada agenda dulu kok..” sahutnya.
Akhirnya jum’at sore aku dan Ama pun berangkat sesuai dengan waktu yang kami sepakati, dengan bermodalkan sms ancer – ancer dari Tri, yang sudah lebih dulu berada di TKD (Tempat Kejadian Daurah) yaitu di pantai Trisik. Sore itu Ama yang memegang kemudi karena dia yang lebih tau seluk beluk jalan menuju ke tempat tersebut.
Saat motor mulai melaju, aku mengirimkan sms kepada Tri, “aku sama Ama baru aja berangkat dari kampus, mau titip apa?”. Selang beberapa menit, HP ku bergetar, “nitip beliin lem lalat dong, disini lalatnya minta ampun banyaknya, tadi aja aku pas makan kudu balapan sama lalat. Sama nitip air mineral..eh, sama snack juga deh..”.
Aku pun menepuk pundak Ama, yang sedang fokus mengendarai motor, “Ma, kata Tri, dia nitip dibeliin lem lalat, kita mampir ke toko dulu yaaa…” kataku setengah berteriak. Dan Ama pun hanya mengacungkan jempol tangan kirinya saja padaku.
Adzan maghrib menggema ketika kami memasuki jalan Bantul. Setelah mampir ke minimarket untuk membelikan barang titipan Tri, kami memutuskan untuk rehat sejenak, sekalian mengisi perut yang sedari tadi siang belum ditunaikan haknya. Tepat ketika jam hape menunjukkan angka 18:15, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pantai Trisik.
Berbagai tema obrolan menemani kami sepanjang perjalanan. Beberapa kali aku pun harus turun dari motor untuk bertanya, memastikan bahwa jalan yang kami lewati benar. Lepas dari jalan raya, akhirnya kami hanya tinggal mencari beberapa ancer – ancer saja. “…lurus aja, nanti sampe di pertigaan yang ada gardunya, belok kanan, ikutin jalan nanti nemu masjid di kiri jalan, kami disana..” itu bunyi ancer – ancer terakhir.
“Ma, bener ini kan jalannya, kok gelap banget ya…jangan ngebut – ngebut ma, aku tak sambil liat dimana pertigaan yang ada gardunya” kataku pada Ama.
“kayaknya sih bener mbep, iya nih, aku juga serem, gelap banget, mana kita cuma berdua, akhwat pula…” sahut Ama yang ternyata tak kalah khawatir.
“iya Ma…nggak lagi – lagi deh berangkat jam segini tanpa ada yang ngawal…horor e...”
Tak berapa lama kemudian, aku melihat sebuah bangunan semacam gardu di kanan jalan.
“ Ma, itu…ada gardu…kayaknya itu deh yang dimaksud…” teriakku.
“iyaaa….alhamdulillah…berarti tinggal deket lagi nih, tuh aku juga udah denger suara ombak..” sahut Ama antusias.
Ketika motor kami semakin mendekat ke pertigaan dan akan berbelok ke arah kanan, ada sesosok bapak – bapak tua yang tersorot oleh lampu motor. Bapak itu berdiri tepat di sudut jalan, mengenakan caping, dan hanya menatap kami, tanpa bergerak sedikit pun, bahkan terkesan tidak mempedulikan bahwa dirinya tersorot silaunya lampu motor kami.
Deg…deg…deg…
Tanpa sadar aku langsung mencengkeram pundak Ama dengan kuat.
Ternyata bukan hanya aku, Ama pun merasa ada yang aneh dengan bapak tadi, “mbep, bapak tadi napak gak ya?kok serem…kamu pegangan aku terus ya…biar aku tau kalo kamu masih bonceng aku..” katanya serius.
“iiiihhhh…Ama….kamu ini…udah, buruan aja deh, aku jadi tambah deg – degan nih…mana ni jalan gak ada lampunya sama sekali gini…” sahutku sambil bergidik.
Beberapa menit kemudian akhirnya kami sampai di masjid yang dimaksud, walaupun harus nyasar dulu ke mushola kecil yang kami lewati sebelumnya. Dari masjid itu, ternyata kami masih harus berpindah ke basecamp akhwat, yang cukup jauh dari masjid itu.
Sesampainya di basecamp, aku agak terkejut melihat jumlah peserta yang hadir tidak mencapai setengah dari target yang beberapa hari lalu disampaikan padaku. “kok cuma segini, apa yang salah ini?” kataku dalam hati
Selidik punya selidik, setelah bertanya sana – sini, ternyata publikasi yang sudah disiapkan jauh – jauh hari, disebarkan dalam waktu yang terlalu mepet dengan tanggal acara. Selain itu banyak juga peserta yang izin menyusul dan bahkan sama sekali tidak konfirmasi. Saat itu karena jumlah panitia juga terbatas, akhirnya aku membantu mempersiapkan sesi materi malam yang akan diisi oleh bos Enda. Sebenarnya malam itu aku agak bingung, karena sudah cukup lama bagiku, tidak ada forum materi gabungan saat hari sudah malam.
Kekagetanku malam itu belum usai, karena kudengar ada 2 panitia akhwat yang akan menyusul ke TKD malam ini, kulirik jam di HPku, sudah hampir jam 9 malam. Sebisa mungkin aku mencoba membujuk mereka untuk tidak berangkat malam itu dan menyusul besok pagi saja, karena aku membayangkan mereka akan melewati jalan yang tadi aku dan Ama lewati. “duh, jam segitu tadi aja udah serem, apalagi kalo udah tambah malem gini”, bisikku dalam hati. Tapi rupanya aku masih belum mahir dalam membujuk orang, mereka pun tetap berangkat, tanpa dikawal seorang ikhwan pun. Yah…saat itu aku hanya bisa berdoa, semoga Allah melindungi mereka di sepanjang perjalanan.
~~~
Saat membuka mata, aku begitu terpesona dengan suasana pantai pagi hari, udara yang sejuk diiringi debur ombak adalah kombinasi yang sangat pas untuk membangkitkan semangat. Usai melakukan aktivitas pagi (bersih diri, olahraga, dan sarapan) tiba – tiba aku dan Ama diajak oleh Tika untuk melakukan survey rute untuk longmarch di hari terakhir. Karena pagi itu aku sedang penuh semangat, jadi aku mengiyakan saja, lagipula saat itu yang terpikir olehku, kami hanya akan fixasi rute.
Ternyata kami tak hanya pergi bertiga, karena Angga dan Arif pun juga turut serta. Mengambil rute dari basecamp lurus ke arah barat, kami pun dengan telaten menyusuri jalanan beraspal. Hingga jalanan beraspal itu habis dan berganti jalan yang berbatu, kami tetap memutuskan untuk tetap lanjut, karena belum menemukan tempat yang tepat dan juga jarak yang dirasa masih sangat dekat.
Sambil melewati jalan yang berbatu dan terkadang juga berpasir, aku iseng bertanya kepada Tika yang saat itu kubonceng, tentang rute yang sudah disurvey sebelumnya. Dan yang mengejutkan, ternyata sebelumnya tidak ada  survey yang benar – benar bertujuan untuk mencari rute longmarch. “hadoh..tepok jidat banget nih”, kataku dalam hati.
Melewati jalan yang berpasir, menuntut konsentrasi yang sangat tinggi, ditambah, harus melewati begitu banyak gunungan kotoran ayam yang ditumpuk di pinggir jalan untuk bahan pupuk kompos..errr….perjuangannya begitu luar biasa. Semakin lama tak ada lagi rumah yang kami lewati, hanya petak – petak kebun semangka, cabe dan beberapa tanaman lain yang tampak tumbuh dengan suburnya.
Sampai di sebuah pertigaan, kami menemukan sebuah lahan luas yang di dalamnya terdapat berbagai macam alat berat, selain itu banyak truk – truk pasir yang keluar masuk di area tersebut. Ternyata sedang ada proyek pembangunan dermaga pantai Glagah. Kami pun memilih mengambil belokan ke arah kanan dan kembali menyusuri jalan yang kali ini sudah tidak berbatu lagi, “hanya” berpasir. Mendekati pusat proyek, pasir yang ada di jalan mulai semakin tebal. Aku pun semakin memusatkan konsentrasiku. Tiba – tiba…brukk…ban depan motor yang kunaiki slip. Praktis aku dan Tika terjatuh di atas jalan yang ternyata tebal pasirnya hampir mencapai 10 cm.
“eh, kalian gak papa kan? Sini motornya biar aku aja yang bawa ke pinggir..” Arif bergegas menghampiri kami.
“gak papa…gak sakit kan pasti, lha wong empuk kok pasirnya..hehe..” sahut Angga tiba – tiba.
Aku dan Tika pun buru – buru menepi, karena ternyata di belakang kami ada sebuah truk pasir yang akan lewat. “iya..sakit sih nggak…tapi malunya minta ampun..”, kataku dalam hati sambil bersungut – sungut.
Setelah rehat sejenak pasca insiden memalukan tadi, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami bersepakat untuk menjadikan objek wisata Pantai Glagah sebagai titik finish untuk longmarch besok. Alhasil kami pun masuk ke pantai Glagah untuk mencari titik yang cocok digunakan sebagai finish sekaligus untuk penutupan agenda.
Karena konsep longmarch yang sama sekali belum tersusun, kami pun terpaksa melakukan syuro dadakan untuk memfixkan konsep acara puncak tersebut. Setelah mengalami perdebatan yang cukup panjang, akhirnya kami menyepakati alur longmarch untuk besok pagi. Rencananya, peserta akan dibangunkan jam 2, trus langsung disuruh wudhu, tahajud, dan nyiapin barang – barang yang menurut mereka perlu dibawa, nanti jam 03.30 mereka naik mobil pickup buat dibawa ke pantai pertama yang kami temukan saat survey. Mereka akan sholat subuh dan sarapan disana. Jadi, nanti mereka akan mulai jalan dari sana.
Setelah menyepakati beberapa hal, akhirnya kami bersegera kembali ke basecamp, karena sebentar lagi adalah sesi FGD dan beberapa kami harus bertugas sebagai fasilitator. Selama kami berlima pergi, ternyata peserta mendapatkan materi dari 5 narasumber, yang dimoderatori oleh bos Enda.
Pasca FGD, mayoritas peserta tampak bosan dan kurang bersemangat. Mungkin efek dari pagi mereka dijelali materi dan diskusi. Nah, untuk mengembalikan mood peserta guna menghadapi klimaks acara di hari terakhir, akhirnya malam itu diisi dengan sesi haflah. Selain peserta, panitia pun juga menampilkan haflah. Walaupun disiapkan dalam waktu yang sangat singkat, alamdulillah sesi ini bisa membuat wajah peserta kembali berbinar – binar.
Usai haflah, peserta diminta langsung beristirahat. Sementara panitia akhwat, justru mulai menggelar lapak di dekat kompor, untuk membantu sie konsumsi menyiapkan bekal makanan untuk pagi hari. Menjelang sepertiga malam terakhir, kami baru bisa beristirahat. Malam itu kami pun harus tidur di luar beralaskan tikar dengan ditemani tiupan angin pantai malam hari yang cukup menusuk kulit. Bahkan ada beberapa akhwat yang memilih tidur sambil duduk di atas kursi kayu, karena tikar yang digelar sudah tak memungkinkan lagi menerima tambahan personil.
~~~
Sesuai rencana, pagi – pagi buta, setelah melakukan shalat tahajud, peserta mulai diangkut ke titik pemberangkatan longmarch dengan menggunakan mobil pickup yang dikemudikan oleh bos Enda. Panitia pun terbagi dua tim. Beberapa tinggal di basecamp untuk menyiapkan makan siang, selebihnya berjaga di pos – pos game yang disiapkan di beberapa titik rute longmarch.
Ba’da subuh, tim yang berjaga di pos pun bersiap berangkat menuju pos nya masing-masing, yang saat itu dikomandani oleh Angga. Kami pun konvoi menuju titik akhir terlebih dahulu. Satu per satu diantar ke posnya. Lagi – lagi harus melewati, area proyek pembangunan dermaga. Aku yang pagi itu memboncengkan Wita khawatir, kejadian kemarin siang terulang lagi. Untungnya, area tempat aku jatuh kemarin, pagi ini pasirnya sudah disiram yang membuat pasirnya memadat dan aku pun berhasil melewatinya tanpa kesulitan.
Lepas dari area proyek pembangunan dermaga itu, kami dihadapkan pada jalan yang sempit lagi berbatu dan berpasir. Jatuh lagi? Tentu tidak…eh…Alhamdulillah tidak…kan sudah berpengalaman..hehe..Beberapa menit kemudian..brakk…ada satu motor yang terjatuh..ternyata itu motor yang dinaiki Tri.
“eh, nggak papa kan? Pelan – pelan aja..banyak pasir soalnya disini…”, kata Angga
Aku pun berbisik pada Wita, “aku tau apa yang sekarang dirasain sama Tri…sakitnya sih gak seberapa, tapi malunya luar biasa..hehe”.
            Longmarch pun berjalan sesuai dengan rencana, diselingi beberapa pos game yang ternyata cukup bisa membuat peserta kembali bersemangat setelah melalui perjalanan yang panjang, panas dan melelahkan. Senang rasanya melihat mereka yang bersemangat seperti itu. Selesai melakukan tugas menjaga pos, aku dan Wita langsung tancap gas, bertolak ke pantai Glagah. Ternyata beberapa orang penjaga pos yang lain sudah disana.
Moment ini kami nikmati layaknya sedang rihlah, ada yang duduk di tepi laguna sambil melihat perahu – perahu yang lewat, ada yang menikmati pemandangan sambil bermain air, ada yang foto – foto, dan ada yang hanya tiduran di rerumputan. Tanpa kami ketahui, di belahan bumi yang lain, tepatnya di basecamp, beberapa orang sedang berjuang mati – matian untuk menyiapkan menu makan siang.
Jumlah panitia yang minim ternyata juga berefek pada penyiapan makanan untuk makan siang. Pagi tadi hanya 2 orang akhwat yang menyiapkan menu makan siang. Untungnya sebelum matahari meninggi, bala bantuan datang. Ada Ida yang datang setelah menyelesaikan job nya sebagai perkap. Tak lama setelah itu, bos Enda dan satu temannya yang datang untuk mencari beberapa suap makanan pun turut menjadi korban.
Mereka berdua mendapat jatah membantu memotong sayur dan membuat sambal. Usai memotong dan mencuci sayur, ketika hendak membuat sambal, bos Enda yang mencari cobek pun harus kecewa, karena ternyata cobek yang diharapkan ada itu tidak terbawa. Alhasil, bos Enda dan temannya pun akhirnya mengiris cabe yang sudah disiapkan seplastik penuh, dan juga beberapa butir bawang putih. Dengan telaten, diirisnya dari satu cabe ke cabe yang lain, dari satu bawang ke bawang yang lain, dan kemudian entah bagaimana caranya akhirnya jadilah racikan sambal ala mereka berdua satu panci plastik penuh. Tak hanya cobek, ternyata alat masak yang lain pun juga minimalis, sehingga membuat tim konsumsi agak kesulitan menyiapkan makanan dalam porsi yang banyak.
~kembali ke pantai Glagah~
Beberapa jam kemudian para peserta mulai berdatangan, aku dan Wita pun beranjak dari tepi laguna ke arah peserta. Membantu sang instruktur perjalanan mengkondisikan mereka. Tampak dari wajah para peserta ekspresi kelelahan dan juga…mmm…agak “browning” karena terbakar sinar matahari sepanjang perjalanan. Karena saat itu sudah masuk waktu shalat dzuhur, maka mereka langsung mengambil air wudhu dan bergegas sholat, agar mereka juga bisa bersegera duduk beristirahat dan menunggu makan siang yang tak kunjung datang.
Tak berapa lama kemudian sebuah mobil pickup dikawal beberapa motor mendekat. Yak…itu adalah mobil penyelamat perut – perut yang keroncongan. Langsung saja aku membantu menurunkan makanan – makanan yang ada. Nasi, sayur, lauk, buah, dan tak lupa sambal. Masing – masing di bagi menjadi dua bagian, satu untuk ikhwan, dan satu untuk akhwat. Saat sedang makan bersama, ada salah satu peserta yang bertanya padaku, “mbak, ini yang bikin sambel pasti sambil pake emosi ya..???”
“eh, emang kenapa dhek?”, tanyaku.
“lha wong sambelnya pedesnya minta ampun kayak gini kok…setan aja bisa tobat mbak kalo makan ini..”, jawab si adhek sambil kepedesan. “emang siapa sih mbak yang bikin..???”, lanjutnya.
Sontak, aku dan Wita (yang mengetahui cerita di balik sambel itu) saling berpandangan, lalu sama – sama tersenyum, dan menjawab, “ehehe…nggak usah tau ya dhek…yang jelas, dibuatnya pasti dengan penuh cinta kok…^^”.
~~~
Matahari perlahan mulai condong ke barat, menandakan waktu semakin sore. Usai penutupan di tepi laguna, seluruh peserta dan panitia pun akhirnya pulang menuju kampus. Daurah kali ini memberikan begitu banyak pelajaran, salah satunya tentang betapa kita masih begitu sering kurang maksimal mempersiapkan sebuah acara.
Masih saja banyak banyak ditemui, agenda yang publikasinya mepet hari H, panitia yang kurang koordinasi, adanya panitia  tambahan yang tidak di transfer tugas dan konsep acara, dan banyak hal lain. Tak heran, sering muncul orang – orang seperti bos Enda, yang jika ada award dengan kategori panitia ter-Multifungsi, maka dia yang akan memenangkannya..hehe..Semoga, ke depan tidak ada lagi daurah dengan tujuan luar biasa yang tidak dipersiapkan dengan maksimal.
Kepanitiaan daurah ini pun diakhiri dengan satu tugas penting, yaitu membeli panci baru untuk menggantikan panci pinjaman yang menjadi korban kecelakaan. Panci pinjaman yang malang  itu harus menerima kenyataan yang menyedihkan, dalam kondisinya yang masih kotor pasca digunakan, dia pun peyok setelah tertabrak oleh satu sisi ban mobil…


Blimbingsari
2 Agustus 2012