“Ama,
kamu ikut agenda yang di Trisik besok itu gak?” tanyaku pada suatu pagi.
“iya,
kamu juga?” jawab temanku, Ama.
“he’eh…kamu
mau berangkat kapan?” tanyaku lagi.
“aku
diminta dari hari jum’atnya, soalnya katanya panitianya kurang, kasian…bareng
yuk..” ujar Ama sambil mengedip – ngedipkan matanya.
“hah?
Kurang? Bukannya panitiannya banyak ya? Aku sih sebenernya cuma diminta bantu
jadi pemandu FGD sabtu siangnya,gak papa deh berangkat jum’at…tapi aku baru
bisa berangkat sekitar jam 5..gimana?” tanyaku sambil memasang muka memelas.
“gak
papa deh..aku juga mau ada agenda dulu kok..” sahutnya.
Akhirnya
jum’at sore aku dan Ama pun berangkat sesuai dengan waktu yang kami sepakati,
dengan bermodalkan sms ancer – ancer dari Tri, yang sudah lebih dulu berada di
TKD (Tempat Kejadian Daurah) yaitu di pantai Trisik. Sore itu Ama yang memegang
kemudi karena dia yang lebih tau seluk beluk jalan menuju ke tempat tersebut.
Saat
motor mulai melaju, aku mengirimkan sms kepada Tri, “aku sama Ama baru aja
berangkat dari kampus, mau titip apa?”. Selang beberapa menit, HP ku bergetar,
“nitip beliin lem lalat dong, disini lalatnya minta ampun banyaknya, tadi aja
aku pas makan kudu balapan sama lalat. Sama nitip air mineral..eh, sama snack
juga deh..”.
Aku
pun menepuk pundak Ama, yang sedang fokus mengendarai motor, “Ma, kata Tri, dia
nitip dibeliin lem lalat, kita mampir ke toko dulu yaaa…” kataku setengah
berteriak. Dan Ama pun hanya mengacungkan jempol tangan kirinya saja padaku.
Adzan
maghrib menggema ketika kami memasuki jalan Bantul. Setelah mampir ke
minimarket untuk membelikan barang titipan Tri, kami memutuskan untuk rehat
sejenak, sekalian mengisi perut yang sedari tadi siang belum ditunaikan haknya.
Tepat ketika jam hape menunjukkan angka 18:15, kami kembali melanjutkan perjalanan
menuju pantai Trisik.
Berbagai
tema obrolan menemani kami sepanjang perjalanan. Beberapa kali aku pun harus
turun dari motor untuk bertanya, memastikan bahwa jalan yang kami lewati benar.
Lepas dari jalan raya, akhirnya kami hanya tinggal mencari beberapa ancer –
ancer saja. “…lurus aja, nanti sampe di pertigaan yang ada gardunya, belok
kanan, ikutin jalan nanti nemu masjid di kiri jalan, kami disana..” itu bunyi
ancer – ancer terakhir.
“Ma,
bener ini kan jalannya, kok gelap banget ya…jangan ngebut – ngebut ma, aku tak
sambil liat dimana pertigaan yang ada gardunya” kataku pada Ama.
“kayaknya
sih bener mbep, iya nih, aku juga serem, gelap banget, mana kita cuma berdua,
akhwat pula…” sahut Ama yang ternyata tak kalah khawatir.
“iya
Ma…nggak lagi – lagi deh berangkat jam segini tanpa ada yang ngawal…horor e...”
Tak
berapa lama kemudian, aku melihat sebuah bangunan semacam gardu di kanan jalan.
“ Ma,
itu…ada gardu…kayaknya itu deh yang dimaksud…” teriakku.
“iyaaa….alhamdulillah…berarti
tinggal deket lagi nih, tuh aku juga udah denger suara ombak..” sahut Ama
antusias.
Ketika
motor kami semakin mendekat ke pertigaan dan akan berbelok ke arah kanan, ada
sesosok bapak – bapak tua yang tersorot oleh lampu motor. Bapak itu berdiri
tepat di sudut jalan, mengenakan caping, dan hanya menatap kami, tanpa bergerak
sedikit pun, bahkan terkesan tidak mempedulikan bahwa dirinya tersorot silaunya
lampu motor kami.
Deg…deg…deg…
Tanpa
sadar aku langsung mencengkeram pundak Ama dengan kuat.
Ternyata
bukan hanya aku, Ama pun merasa ada yang aneh dengan bapak tadi, “mbep, bapak
tadi napak gak ya?kok serem…kamu pegangan aku terus ya…biar aku tau kalo kamu
masih bonceng aku..” katanya serius.
“iiiihhhh…Ama….kamu
ini…udah, buruan aja deh, aku jadi tambah deg – degan nih…mana ni jalan gak ada
lampunya sama sekali gini…” sahutku sambil bergidik.
Beberapa
menit kemudian akhirnya kami sampai di masjid yang dimaksud, walaupun harus
nyasar dulu ke mushola kecil yang kami lewati sebelumnya. Dari masjid itu,
ternyata kami masih harus berpindah ke basecamp akhwat, yang cukup jauh dari
masjid itu.
Sesampainya
di basecamp, aku agak terkejut melihat jumlah peserta yang hadir tidak mencapai
setengah dari target yang beberapa hari lalu disampaikan padaku. “kok cuma segini, apa yang salah ini?”
kataku dalam hati
Selidik
punya selidik, setelah bertanya sana – sini, ternyata publikasi yang sudah
disiapkan jauh – jauh hari, disebarkan dalam waktu yang terlalu mepet dengan
tanggal acara. Selain itu banyak juga peserta yang izin menyusul dan bahkan
sama sekali tidak konfirmasi. Saat itu karena jumlah panitia juga terbatas,
akhirnya aku membantu mempersiapkan sesi materi malam yang akan diisi oleh bos
Enda. Sebenarnya malam itu aku agak bingung, karena sudah cukup lama bagiku,
tidak ada forum materi gabungan saat hari sudah malam.
Kekagetanku
malam itu belum usai, karena kudengar ada 2 panitia akhwat yang akan menyusul
ke TKD malam ini, kulirik jam di HPku, sudah hampir jam 9 malam. Sebisa mungkin
aku mencoba membujuk mereka untuk tidak berangkat malam itu dan menyusul besok
pagi saja, karena aku membayangkan mereka akan melewati jalan yang tadi aku dan
Ama lewati. “duh, jam segitu tadi aja
udah serem, apalagi kalo udah tambah malem gini”, bisikku dalam hati. Tapi
rupanya aku masih belum mahir dalam membujuk orang, mereka pun tetap berangkat,
tanpa dikawal seorang ikhwan pun. Yah…saat itu aku hanya bisa berdoa, semoga
Allah melindungi mereka di sepanjang perjalanan.
~~~
Saat
membuka mata, aku begitu terpesona dengan suasana pantai pagi hari, udara yang sejuk
diiringi debur ombak adalah kombinasi yang sangat pas untuk membangkitkan
semangat. Usai melakukan aktivitas pagi (bersih diri, olahraga, dan sarapan)
tiba – tiba aku dan Ama diajak oleh Tika untuk melakukan survey rute untuk
longmarch di hari terakhir. Karena pagi itu aku sedang penuh semangat, jadi aku
mengiyakan saja, lagipula saat itu yang terpikir olehku, kami hanya akan fixasi
rute.
Ternyata
kami tak hanya pergi bertiga, karena Angga dan Arif pun juga turut serta.
Mengambil rute dari basecamp lurus ke arah barat, kami pun dengan telaten
menyusuri jalanan beraspal. Hingga jalanan beraspal itu habis dan berganti
jalan yang berbatu, kami tetap memutuskan untuk tetap lanjut, karena belum
menemukan tempat yang tepat dan juga jarak yang dirasa masih sangat dekat.
Sambil
melewati jalan yang berbatu dan terkadang juga berpasir, aku iseng bertanya
kepada Tika yang saat itu kubonceng, tentang rute yang sudah disurvey
sebelumnya. Dan yang mengejutkan, ternyata sebelumnya tidak ada survey yang benar – benar bertujuan untuk
mencari rute longmarch. “hadoh..tepok
jidat banget nih”, kataku dalam hati.
Melewati
jalan yang berpasir, menuntut konsentrasi yang sangat tinggi, ditambah, harus
melewati begitu banyak gunungan kotoran ayam yang ditumpuk di pinggir jalan untuk
bahan pupuk kompos..errr….perjuangannya begitu luar biasa. Semakin lama tak ada
lagi rumah yang kami lewati, hanya petak – petak kebun semangka, cabe dan
beberapa tanaman lain yang tampak tumbuh dengan suburnya.
Sampai
di sebuah pertigaan, kami menemukan sebuah lahan luas yang di dalamnya terdapat
berbagai macam alat berat, selain itu banyak truk – truk pasir yang keluar
masuk di area tersebut. Ternyata sedang ada proyek pembangunan dermaga pantai
Glagah. Kami pun memilih mengambil belokan ke arah kanan dan kembali menyusuri
jalan yang kali ini sudah tidak berbatu lagi, “hanya” berpasir. Mendekati pusat
proyek, pasir yang ada di jalan mulai semakin tebal. Aku pun semakin memusatkan
konsentrasiku. Tiba – tiba…brukk…ban depan motor yang kunaiki slip. Praktis aku
dan Tika terjatuh di atas jalan yang ternyata tebal pasirnya hampir mencapai 10
cm.
“eh,
kalian gak papa kan? Sini motornya biar aku aja yang bawa ke pinggir..” Arif
bergegas menghampiri kami.
“gak
papa…gak sakit kan pasti, lha wong empuk kok pasirnya..hehe..” sahut Angga tiba
– tiba.
Aku
dan Tika pun buru – buru menepi, karena ternyata di belakang kami ada sebuah
truk pasir yang akan lewat. “iya..sakit
sih nggak…tapi malunya minta ampun..”, kataku dalam hati sambil bersungut –
sungut.
Setelah
rehat sejenak pasca insiden memalukan tadi, kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami bersepakat untuk menjadikan objek wisata Pantai Glagah sebagai titik
finish untuk longmarch besok. Alhasil kami pun masuk ke pantai Glagah untuk
mencari titik yang cocok digunakan sebagai finish sekaligus untuk penutupan
agenda.
Karena
konsep longmarch yang sama sekali belum tersusun, kami pun terpaksa melakukan
syuro dadakan untuk memfixkan konsep acara puncak tersebut. Setelah mengalami
perdebatan yang cukup panjang, akhirnya kami menyepakati alur longmarch untuk
besok pagi. Rencananya, peserta akan dibangunkan jam 2, trus langsung disuruh
wudhu, tahajud, dan nyiapin barang – barang yang menurut mereka perlu dibawa,
nanti jam 03.30 mereka naik mobil pickup buat dibawa ke pantai pertama yang
kami temukan saat survey. Mereka akan sholat subuh dan sarapan disana. Jadi,
nanti mereka akan mulai jalan dari sana.
Setelah
menyepakati beberapa hal, akhirnya kami bersegera kembali ke basecamp, karena
sebentar lagi adalah sesi FGD dan beberapa kami harus bertugas sebagai
fasilitator. Selama kami berlima pergi, ternyata peserta mendapatkan materi
dari 5 narasumber, yang dimoderatori oleh bos Enda.
Pasca
FGD, mayoritas peserta tampak bosan dan kurang bersemangat. Mungkin efek dari
pagi mereka dijelali materi dan diskusi. Nah, untuk mengembalikan mood peserta
guna menghadapi klimaks acara di hari terakhir, akhirnya malam itu diisi dengan
sesi haflah. Selain peserta, panitia pun juga menampilkan haflah. Walaupun
disiapkan dalam waktu yang sangat singkat, alamdulillah sesi ini bisa membuat
wajah peserta kembali berbinar – binar.
Usai
haflah, peserta diminta langsung beristirahat. Sementara panitia akhwat, justru
mulai menggelar lapak di dekat kompor, untuk membantu sie konsumsi menyiapkan
bekal makanan untuk pagi hari. Menjelang sepertiga malam terakhir, kami baru
bisa beristirahat. Malam itu kami pun harus tidur di luar beralaskan tikar dengan
ditemani tiupan angin pantai malam hari yang cukup menusuk kulit. Bahkan ada
beberapa akhwat yang memilih tidur sambil duduk di atas kursi kayu, karena
tikar yang digelar sudah tak memungkinkan lagi menerima tambahan personil.
~~~
Sesuai
rencana, pagi – pagi buta, setelah melakukan shalat tahajud, peserta mulai
diangkut ke titik pemberangkatan longmarch dengan menggunakan mobil pickup yang
dikemudikan oleh bos Enda. Panitia pun terbagi dua tim. Beberapa tinggal di
basecamp untuk menyiapkan makan siang, selebihnya berjaga di pos – pos game
yang disiapkan di beberapa titik rute longmarch.
Ba’da
subuh, tim yang berjaga di pos pun bersiap berangkat menuju pos nya
masing-masing, yang saat itu dikomandani oleh Angga. Kami pun konvoi menuju
titik akhir terlebih dahulu. Satu per satu diantar ke posnya. Lagi – lagi harus
melewati, area proyek pembangunan dermaga. Aku yang pagi itu memboncengkan Wita
khawatir, kejadian kemarin siang terulang lagi. Untungnya, area tempat aku
jatuh kemarin, pagi ini pasirnya sudah disiram yang membuat pasirnya memadat
dan aku pun berhasil melewatinya tanpa kesulitan.
Lepas
dari area proyek pembangunan dermaga itu, kami dihadapkan pada jalan yang
sempit lagi berbatu dan berpasir. Jatuh lagi? Tentu tidak…eh…Alhamdulillah
tidak…kan sudah berpengalaman..hehe..Beberapa menit kemudian..brakk…ada satu
motor yang terjatuh..ternyata itu motor yang dinaiki Tri.
“eh,
nggak papa kan? Pelan – pelan aja..banyak pasir soalnya disini…”, kata Angga
Aku
pun berbisik pada Wita, “aku tau apa yang sekarang dirasain sama Tri…sakitnya
sih gak seberapa, tapi malunya luar biasa..hehe”.
Longmarch pun berjalan sesuai dengan
rencana, diselingi beberapa pos game yang ternyata cukup bisa membuat peserta
kembali bersemangat setelah melalui perjalanan yang panjang, panas dan
melelahkan. Senang rasanya melihat mereka yang bersemangat seperti itu. Selesai
melakukan tugas menjaga pos, aku dan Wita langsung tancap gas, bertolak ke
pantai Glagah. Ternyata beberapa orang penjaga pos yang lain sudah disana.
Moment
ini kami nikmati layaknya sedang rihlah, ada yang duduk di tepi laguna sambil
melihat perahu – perahu yang lewat, ada yang menikmati pemandangan sambil
bermain air, ada yang foto – foto, dan ada yang hanya tiduran di rerumputan.
Tanpa kami ketahui, di belahan bumi yang lain, tepatnya di basecamp, beberapa
orang sedang berjuang mati – matian untuk menyiapkan menu makan siang.
Jumlah
panitia yang minim ternyata juga berefek pada penyiapan makanan untuk makan
siang. Pagi tadi hanya 2 orang akhwat yang menyiapkan menu makan siang.
Untungnya sebelum matahari meninggi, bala bantuan datang. Ada Ida yang datang
setelah menyelesaikan job nya sebagai perkap. Tak lama setelah itu, bos Enda
dan satu temannya yang datang untuk mencari beberapa suap makanan pun turut
menjadi korban.
Mereka
berdua mendapat jatah membantu memotong sayur dan membuat sambal. Usai memotong
dan mencuci sayur, ketika hendak membuat sambal, bos Enda yang mencari cobek
pun harus kecewa, karena ternyata cobek yang diharapkan ada itu tidak terbawa.
Alhasil, bos Enda dan temannya pun akhirnya mengiris cabe yang sudah disiapkan
seplastik penuh, dan juga beberapa butir bawang putih. Dengan telaten,
diirisnya dari satu cabe ke cabe yang lain, dari satu bawang ke bawang yang
lain, dan kemudian entah bagaimana caranya akhirnya jadilah racikan sambal ala
mereka berdua satu panci plastik penuh. Tak hanya cobek, ternyata alat masak
yang lain pun juga minimalis, sehingga membuat tim konsumsi agak kesulitan
menyiapkan makanan dalam porsi yang banyak.
~kembali ke pantai Glagah~
Beberapa
jam kemudian para peserta mulai berdatangan, aku dan Wita pun beranjak dari
tepi laguna ke arah peserta. Membantu sang instruktur perjalanan mengkondisikan
mereka. Tampak dari wajah para peserta ekspresi kelelahan dan juga…mmm…agak “browning” karena terbakar sinar
matahari sepanjang perjalanan. Karena saat itu sudah masuk waktu shalat dzuhur,
maka mereka langsung mengambil air wudhu dan bergegas sholat, agar mereka juga
bisa bersegera duduk beristirahat dan menunggu makan siang yang tak kunjung
datang.
Tak
berapa lama kemudian sebuah mobil pickup dikawal beberapa motor mendekat.
Yak…itu adalah mobil penyelamat perut – perut yang keroncongan. Langsung saja
aku membantu menurunkan makanan – makanan yang ada. Nasi, sayur, lauk, buah,
dan tak lupa sambal. Masing – masing di bagi menjadi dua bagian, satu untuk
ikhwan, dan satu untuk akhwat. Saat sedang makan bersama, ada salah satu
peserta yang bertanya padaku, “mbak, ini yang bikin sambel pasti sambil pake
emosi ya..???”
“eh,
emang kenapa dhek?”, tanyaku.
“lha
wong sambelnya pedesnya minta ampun kayak gini kok…setan aja bisa tobat mbak
kalo makan ini..”, jawab si adhek sambil kepedesan. “emang siapa sih mbak yang
bikin..???”, lanjutnya.
Sontak,
aku dan Wita (yang mengetahui cerita di balik sambel itu) saling berpandangan,
lalu sama – sama tersenyum, dan menjawab, “ehehe…nggak usah tau ya dhek…yang
jelas, dibuatnya pasti dengan penuh cinta kok…^^”.
~~~
Matahari
perlahan mulai condong ke barat, menandakan waktu semakin sore. Usai penutupan
di tepi laguna, seluruh peserta dan panitia pun akhirnya pulang menuju kampus.
Daurah kali ini memberikan begitu banyak pelajaran, salah satunya tentang
betapa kita masih begitu sering kurang maksimal mempersiapkan sebuah acara.
Masih
saja banyak banyak ditemui, agenda yang publikasinya mepet hari H, panitia yang
kurang koordinasi, adanya panitia tambahan yang tidak di transfer tugas dan
konsep acara, dan banyak hal lain. Tak heran, sering muncul orang – orang
seperti bos Enda, yang jika ada award dengan kategori panitia ter-Multifungsi,
maka dia yang akan memenangkannya..hehe..Semoga, ke depan tidak ada lagi daurah
dengan tujuan luar biasa yang tidak dipersiapkan dengan maksimal.
Kepanitiaan daurah ini pun diakhiri
dengan satu tugas penting, yaitu membeli panci baru untuk menggantikan panci
pinjaman yang menjadi korban kecelakaan. Panci pinjaman yang malang itu harus menerima kenyataan yang menyedihkan,
dalam kondisinya yang masih kotor pasca digunakan, dia pun peyok setelah
tertabrak oleh satu sisi ban mobil…
2
Agustus 2012